Untuk apa “tinggi-tinggi”?

Beberapa bulan lalu saat menjalani praktek kerja profesi di salah satu instansi, di kota ini… aku teringat pada sederet kalimat tanya (tertulis diselembar kertas) dari seseorang yang ‘terdidik’ menurut kacamataku. Lebih kurang begini, untuk apa anda kuliah tinggi-tinggi kalau pada akhirnya kodrat yg akan dijalani nanti adalah menjadi istri dan ibu? atau…apakah agar berpenghasilan tinggi?” [dalam hati saya agak bingung dengan indikator sekolah tinggi-tinggi itu, karna zuzur ada banyaaaaak sekali orang-orang di luar sana yang terus menimba ilmu tanpa henti. Lah saya, masih cetek begini] πŸ˜‚

Membalas dengan senyum semanis-manisnya. Itu saja caraku. Haruskah aku menjawab pertanyaan ini? Ah, terima kasih lho, Tuan. Bagaimanapun, aku yakin niat beliau baik. Boleh jadi beliau juga berorientasi pada kualitas generasi penerus. Tapi sayang sekali, mungkin beliau lupa… apakah para penerus generasi tidak layak dilahirkan dari Ibu yang terdidik, ibu yang menyiapkan sebaik-baik bekal untuk para buah hati sehingga kelak menjadi generasi madani? tidak layakkah seorang suami mendapatkan istri yang mau terus menjadi pembelajar, hingga memahami bahwa betapa mulianya menjaga ketaatan pada suaminya?

Boleh jadi beliau juga lupa bahwa madrasatul Ε«la bagi anak-anak dalam setiap keluarga adalah seorang Ibu. Ah Tuan, aku jadi senyum-senyum lagi. Tapi terima kasih, sederet kalimat tanya itu menjadi pengingat tersendiri untukku, bagaimanapun. Mohon doanya, agar Si Fakir Ilmu ini benar-benar mampu berbagi. Perihal penghasilan tinggi—hmmm,,, ya sudahlah :”

Jadi untuk apa?

πŸ™‚ Ternyata moment beberapa bulan lalu itu menyimpan hikmah. Setidaknya memberi ruang untuk me-recall motivasi Si Fakir ilmu ini memutuskan untuk terus menjadi pembelajar. Waktu itu, aku sempat bekerja disebuah instansi yang fokus pada pendidikan dan pendampingan tumbuh kembang anak-anak spesial. Suatu ketika, aku dihadapkan pada situasi yang cukup kompleks. Sementara itu, aku, dengan pengetahuan yang terbatas dan secara etik belum mumpuni, tidak bisa berbuat banyak. Tentunya sesuai prosedur, aku harus meminta bantuan profesional.

Aku mulai bereksplorasi dengan diri sendiri. Memberi berbagai pertanyaan dari dan untuk diri sendiri. Lalu kujawab sendiri. πŸ˜‚ “Fen, apa sih yg kamu cari di dunia ini? Kamu udah punya tujuan (jangka panjang dan pendek) belum? Kamu menimba ilmu buat apa? buat siapa?”. Hahaha. Seperti biasa, aku mulai melibatkan orangtua untuk berdiskusi. Menguraikan semua target-target pribadi lalu meminta saran dan evaluasi. Qadarullah, niatku bersambut dengan dukungan sepenuhnya. Sampai Sang Bapak bertitah, “Nak, kita bukan turunan sultan. Jadi, yang bisa papa wariskan buat kakak adalah ilmu. Selagi Allah beri peluang, manfaatkan. Perihal rezeki, InsyaaAllah Allah telah jaminkan buat para penuntut ilmu. Jangan khawatir.”

Alhamdulillah, sejak kecil, dalam kondisi apapun orangtuaku selalu mau berbesar hati dan berupaya saling melapangkan untuk mengutamakan pendidikan. Bahkan dalam keadaan sempit sekalipun. Mereka selalu berprinsip, selalu ada jalan bagi para fakir ilmu bila menjaga niat Lillah.

Hmmmm, yap. Itulah mengapa aku memutuskan untuk kembali belajar. Pertama, karena mulianya ikhtiar orangtua agar aku menjaga niat Lillah. Lalu, sebab dunia ini hanya tempat singgah, setidaknya ada sesuatu yang dapat kita wariskan pada sesama, mungkin menebar manfaat dalam bentuk apa saja. Perihal penghasilan tinggi tadi, :” agaknya itu adalah bonus bila Dia izinkan. Karena bagaimanapun, hal tsb juga dapat membantu perputaran roda kebermanfaatan. Tapi bukan kiblat dari segalanya. Lagipula, penghasilan tinggi sangat mungkin diperoleh oleh siapa saja yang mau ‘berusaha’. Namun tetap, dalam ranah usaha apapun, tidak lepas dari ilmu πŸ™‚

Bagaimana dengan kodrat istri dan ibu?

πŸ™‚ MasyaAllah. Sungguh mulia pertanyaan itu, Tuan. Diskusiku dan orangtua pada saat itu tidak berhenti begitu saja. “Kak, gimana nanti kalo udah nikah, trus punya anak, jadi istri sekaligus ibu?” Waktu itu aku terdiam agak lama. Lalu Papa dan Bunda bersegera memecah sunyi dan mengusap kepalaku. “Papa sih yakin nanti kakak bakal bisa nentuin skala prioritas dengan bijak. Terpenting sekarang luruskan niat, OKE?!” Mereka saat itu memberiku ruang untuk learning by doing. Hahaha. Pak Wir dan Ibu Negara emang debest!!!

Sungguh Allah teramat baik…

Qadarullah, diperjalanan setelahnya Ia pun pertemukan Si Fakir Ilmu ini dengan Bapak Suami yang juga memberi dukungan penuh, bahkan disaat yang sama beliau harus berbaik-baik pada jarak yang entah berapa. Bukan main lihainya membingkai rindu dengan doa.

Lalu untuk apa?

Wanita, begitu mulia dengan peran yang Allah titipkan di pundaknya. Saat peran utamanya adalah menjadi wanita shalihah, diberi pula kesempatan untuk meraih peran menjadi istri yang taat dan ibu peradaban penyandang madrasah pertama bagi penerus generasi. Tidakkah kesemua peranan itu memberi peluang baginya untuk meningkatkan derajat taqwa di hadapan Rabb-Nya?

Dan.. disebabkan peranan mulia itulah kenapa wanita harusnya lebih dekat dengan ilmu. Karena Allah percayakan peranan mulia itu pada wanita, maka sudah sepatutnya wanita menyiapkan bekal terbaik..

Dan… bicara tentang ilmu, sungguh hal ini tidak didapat hanya dari tempat pendidikan formal, sekolah, atau universitas saja. Bukan pula hanya milik mereka yang sarjana, S2, S3 dan seterusnya. Sungguh bukan. Karna ada banyak tempat yang dapat memberi pembelajaran, ada banyak buku yang mewariskan ilmu, ada banyak majelis atau bahkan komunitas yang bersinergi menebar ilmu dan kebermanfaatan. Intinya, jangan pernah jemu mendekati pengetahuan dan ilmu, agar pada akhirnya kita bermuara pada kebermanfaatan demi meningkatkan derajat iman dan ketaqwaan pada Dia semata.

Sesungguhnya, jawaban utama Si Fakir Ilmu ini hanyalah karena ia tidak ingin menghadap Rabb-Nya dalam keadaan sia-sia. Itu saja.

-Si Fakir Ilmu-

Depok β–ͺ︎ 17.41 WIB

12

Time flies.

Waktu terus berputar. Kita terus belajar. Saling mengingatkan untuk tegar. Seringkali aku yang lupa cara bersabar. Hmmm…terima kasih sudah ikhlas menjaga ikhtiar. Semoga Dia gantikan dengan ridho yang tak tertakar.

Time Flies

Usianya belum seberapa. Detik yang benar-benar dilalui bersama juga masih bisa dihitung angka. Semoga usia kita sampai pada ikhtiar menggenapkan amanah-amanah selanjutnya.

Semoga pula, Dia memampukan kita saling membersamai tidak hanya di dunia. Melainkan menggapai mahligai mulia hingga jannah-Nya.

“Sebab aku selalu meminta, kau yang membimbingku ke surga-Nya, dan aku pula yg akan menjadi bidadarimu di sana”.

-yours-

Kami mohon do’a

Sebaik-baik Pemilik Asuransi

Senja dan Langit-Nya

Bismillah.

Seperti biasa, langit di sini selalu ramah. Sekalipun tak begitu cerah, tapi setia indah. Suatu hari nanti mungkin kebiasaanku berteman nyaman dengan keindahan-Nya ini akan terus dikenang. Semoga Dia benar-benar memberi waktu untuk aku mengenang indah dan nyaman sepercik ciptaan-Nya, di sini.

Seperti itu pula senja membersamai keramahannya. MasyaaAllah, semakin sempurna. Tentu ini semua adalah hasil karya-Nya. Aku semakin kagum betapa indahnya Dia dengan segala Ke-Mahaan-Nya.

Lalu di sini, di bawah langit senja-Nya, aku, seorang pendosa yang tak tahu malu, “minta-minta” tanpa enggan bahkan semena-mena hingga memaksa . Dulu…aku sebebal itu (mungkin sekarangpun masih begitu). Tanpa ragu, meragukan setiap apa yang tertakdirkan. Mempertanyakan mengapa ini begitu? mengapa itu begini?

Dan…

Dia dengan sangat ramahnya, sepenuh-penuhnya cinta tetap rela memeluk pintaku yang semena-mena. Bahkan Dia pula yang telah mengasuransikan segala yang “terbaik” atasku. Malu? Tentu… Tapi, Dia dengan ke-Maha Kuasaan-Nya menutupi semua ketidakberdayaan sesiapa saja, termasuk aku.

Perlahan, aku mulai mengeja betapa mulia karunia-Nya. Pemilik asuransi terbaik. Melalui perjalanan cukup panjang, Ia mengajarkan banyak hal. Melalui hantaman duka Ia titipkan kekuatan, kesabaran, hingga keikhlasan. Bahkan sampai pada keberdayaan menemui titik penghabisan yang disebut hikmah. Melalui gejolak bahagia Ia ajarkan seni mensyukuri dari hati.

Hingga hari ini, aku benar-benar tak henti mensyukuri betapa sempurna asuransi yang Ia jaminkan.

Menoleh pada peristiwa persis 12 tahun yang lalu. Waktu itu, aku adalah “anak kecil” yang apa-apa selalu bergantung pada orang-orang disekitarku. Terutama Papa dan Ibu. Bagaimana tidak, buah hati mereka satu-satunya, ya cuma aku. Boleh dong mereka mempersembahkan segalanya dalam versi terbaik untuk anak kecil itu. Namanya juga orang tua πŸ™‚

Suatu hari, setelah menjadi alumni seragam merah putih, Si anak perempuan satu-satunya ini dengan begitu PD-nya mengajukan permintaan yang cukup menyita waktu Papa dan Ibu untuk berdiskusi lalu akhirnya merumuskan solusi. Bayangkan saja, anak itu tiba-tiba minta melanjutkan study di boarding school (means tinggal di asrama) dengan alasan biar bisa nyuci baju sendiri. Hahaha. Sesederhana itu.

Diskusi mereka ternyata cukup serius. Di satu sisi Papa belum siap harus berpisah dengan si semata wayang. Di sisi lain Ibu terharu, karena jauh dari lubuk hatinya, beliau tidak menyangka cita-citanya sejalan dengan permintaanku. Walaupun banyak belum siapnya juga, bahkan melebihi kebelum-siapan Papa. Setelah beberapa drama, akhirnya mereka sepakat. Aku sih curiga Ibu maksa Papa. Lalu Papa tidak berdaya menolak karena Ibu pasti selalu punya cara meluluhkan hati Papa. Apalagi kalau mereka udah bawa-bawa cinta. Hahaha.

Langkah selanjutnya mereka mulai mengkaji tentang “tempat dan iklim pendidikan yang paling strategis” dengan embel-embel boarding school. Sebagai orang Sumatera Barat yang berdomisili di Riau pada saat itu, Papa dan Ibu tentunya juga melakukan survey dan studi komparatif kecil-kecilan terhadap kedua wilayah itu. Long story short, aku resmi menjadi santri di salah satu islamic boarding school di tanah Serambi Mekah. Benar saja, aku jadi bisa nyuci baju sendiri, hahaha. Walaupun pada akhirnya pesona laundry tak terkalahkan karna jam belajar yang semakin padat, wkwk (ngeles πŸ˜„)

Memasuki tahun ke tiga, ya hari ini persis 12 tahun yang lalu. Allah mengambil Ibu. Rasanya? Jangan ditanya! PORAK PORANDA. Kabar itu aku dapati via telfon dari salah satu keluargaku. Bukan Papa. Karena aku tau, pasti Papa tak mampu mengabariku. Jarak Riau-Sumbar cukup membuatku geram menanti Ibu. Ramadhan kala itu benar-benar kelabu. Semua seperti mimpi buruk. Lebih-lebih untuk Papa dan aku. Cinta terbaik Papa, wanita yang mencintaiku seutuhnya tanpa syarat, pergi dan tak akan kembali. Papa pasti hancur sehancur-hancurnya. Apalagi aku.

Mereka tiba. Sejak subuh itu, aku terusik dengan bunyi ambulance. Ibuku pulang. Iya, pulang pada-Nya. Dan…dugaanku keliru soal Papa, dengan tasbih dan Al-Qur’an di tangannya, Ia mendekatiku. Pelukannya menyelimuti seluruh tubuh mungilku. Ternyata Papa sekuat itu. Air mata Papa ia sembunyikan agar aku tenang. Hanya zikir yang kian lirih dan pelan aku dengar. Sejak hari itu, langit tak lagi sama. Merubah segalanya. Anak seusiaku waktu itu bisa apa? Selain menangisi ketentuan bahkan menyalahkan Tuhan.

Hal terbaik yang Papa dan keluargaku bisa lakukan waktu itu adalah memberi pengertian bahwa Allah teramat mencintai Ibu. Dan…kalau aku juga mencintai Ibu, artinya aku tidak boleh menyalahi takdir. Perlahaaaan sekali, aku merangkak dan menapaki fase penerimaan. Tidak mudah memang. Alhamdulillah, melalui Papa dan keluarga besarku Dia titipkan cinta yang maha dahsyat. Sampai pada akhirnya aku menemui makna “Ooohhh,,,ternyata ini salah satu hikmahnya dulu aku ngotot ngeboarding”. Setidaknya aku sudah terbiasa berjarak dengan Ibu dan Papa. Setidaknya aku sudah agak mandiri, sudah tau teori mencuci baju sendiri, dan mengatur hal-hal kecil untuk diri sendiri juga sudah dibekali. πŸ™‚ Namun tidak sesederhana itu. Lebih jauh lagi, Qadarullah keputusan mereka pula yang mengantarkan aku menimba ilmu yang tidak hanya demi mengejar eksistensi di dunia, melainkan juga ilmu yang kelak menjadi satu-satunya bekal menuju Dia.

Time flies…

Hidup harus hidup. Memasuki fase putih abu-abu, aku tidak lagi nyantri di kota Serambi Mekah. Karena aku memilih ikut Papa yang pindah ke tanah kelahirannya dan meninggalkan tanah Melayu. Papa memulai babak baru. Iya, setelah kepergian Ibu Allah hadirkan Bunda untukku dan Papa. Semudah itu?…. Hmmm, tentu saja tidak gaesss. Aku, anak ABG yang pada saat itu sedang dipuncak kelabilan, pasti marah dong dengan keadaan. Ini sangat wajar, aku belum mengerti sepenuhnya arti pasangan. Alih-alih menempatkan diriku ada di posisi Papa. (Sejujurnya, aku baru benar-benar mengerti arti cinta dan kebutuhan terhadap pasangan, literally setelah menikah). Sungguh. Ah, Papa, maafin kakak. Hehehe.

Selama masa putih abu-abu aku menghabiskan hari-hari di sekolah dengan berbagai kegiatan akademis dan non-akademis. Sepuas-puasnya, sampai-sampai mungkin satu sekolahan bosan denganku, hahaha. Semoga menyisakan cerita positif. Dan…sejujurnya itu adalah aksi nyata agar aku bisa berlama-lama di luar. Wkwk. Ya, waktu itu kemarahanku pada Papa belum usai.

Tapi, lagi-lagi Allah sebaik itu. Bunda hadir dengan sebenar-benar cinta. Hanya saja aku terlalu bebal dan menolak memaknai segera. Aku tidak tahu entah terbuat dari apa bongkahan hati Bunda. Teramat mulia. Ah, baik-Nya keterlaluan pada aku yang sungguh terlalu. Sabar Bunda tanpa tepi. Aku tak perlu menceritakan peristiwa apa yang akhirnya menampar keegoan dan kesilapanku pada Papa dan Bunda. Tapi sungguh, Bunda mencinta dengan sebenar-benarnya cinta. Dengan caranya. Begitu pula dengan Papa. Semakin hari cinta beliau semakin nyata. Papa semakin romantis. Sangat-sangat romantis (tapi pastilah ya, ada sesekali marah dan emosi menghadapi ABG labil ini πŸ˜‚).

…….

Sampai akhirnya aku menjadi seorang kakak ketika sudah menjadi mahasiswa, haha. Mimpi masa kecilku “menjadi kakak” Allah wujudkan melalui Bunda. Kehadiran adik kecil itu melengkapi segalanya. Lalu, sepercik hikmah kembali mendatangiku. “Fen, bayangkan kalau Allah tidak hadirkan Bunda, siapa yang akan mengurusi segala kebutuhan Papa? sementara kamu harus kuliah di kota yang berbeda, dan tidak setiap hari bisa mendampingi Papa”. Padahal, kalau aku berkaca pada diri sendiri, I couldn’t imagine, harus masak (PR paling sesuatu buat seorang Feny πŸ˜„), nyuci, nyetrika, belanja ke pasar, beresin rumah, dan embel-embel lainnya. HAHA. Kundak sanggup. Allah terlalu baik menghadirkan Bunda. Lebih lagi, pada hakikatnya kebutuhan biologis seorang laki-laki akan terus berlanjut, pun kebutuhan dalam aspek fisiologis, psikologis maupun emosionalnya. Lagi-lagi syukurku tak pantas berhenti.

Pada akhirnya aku menyadari, semaksimal apapun aku ikhtiar untuk membersamai Papa, akan ada limitnya. Tentu saja, karena aku kelak juga akan melanjutkan tahap dan tugas perkembanganku selanjutnya sebagai manusia dan sebagai wanita. Saat itu aku menyusun sendiri list #feny’sjourney dikepalaku. Aku menargetkan banyak hal, mulai dari target menyelesaikan S1, lalu bekerja melengkapi pengalaman, kemudian S2, menikah, dan banyaaak lagi setelahnya (yang setelah menikah biar kita simpan dulu). Bahkan aku sengaja menuliskan semuanya dan jadilah sebuah jurnal mimpi Si Feny. Hahaha. MasyaaAllah, perlahan satu per satu ter-βœ” sesuai porsi dan waktu-Nya. Memang ada beberapa tidak persis sama dengan rencanaku, tapi zona waktu-Nya pastilah asuransi terbaik-Nya. Tenang, seorang Feny tidak “se-ambi” itu kok πŸ™‚

Waktu terus berjalan maju, tak sedetikpun mundur. Qadarullah, ditengah perjalanan Si Fakir Ilmu ini bersekolah, Allah izinkan dia bertemu seseorang yang menggenapkan separuh agamanya. Alhamdulillah, Si semata wayang tidak lagi sendiri. Meskipun saat ini harus berdamai dengan jarak bersama suami. Namun tak pernah ada alasan untuk tidak mensyukuri. Betapa tidak, Sang Suami begitu sabar memberi ridho bagi si istri untuk tetap merajut mimpi, walaupun artinya harus berbesar hati. Dan…aku sesadar-sadarnya pun menyadari, ini sangat tidak mudah bagi kami, saya dan suami. Doakan kami yaa… semoga jarak ini segera tuntas. Karena cerita kami baru saja dimulai. Semoga Allah telah mempersiapkan asuransi terbaik-Nya pula bagi pernikahan kami. Sedikit bocoran. Pernikahan itu membahagiakan πŸ’Œ Percayalah. Namun jangan lupa, karena itu ibadah, maka ia tidak akan mudah. Pasti akan ada ujian di dalamnya. Karena tujuannya jannah. Upayakan lillah dan iringi dengan bismillah.

Berkaca pada deretan peristiwa sebelumnya, betapa rapihnya Dia mendesain cerita dalam kehidupan manusia. Itulah mengapa hanya Dia satu-satunya pemilik asuransi terbaik setiap manusia. Setiap proses dirancang dan diizinkan berjalan begitu apik sesuai skenarionya. Sebagai seseorang fakir yang sedang terus belajar, aku mulai mengaitkan teori dengan realita dan aplikasi. MasyaaAllah, begitulah Allah mengaruniakan ilmu. Bagaimana dulu aku dibesarkan oleh orangtuaku dengan segala persembahan terbaik mereka. Kemudian beralih ke tugas perkembanganku selanjutnya dari anak-anak menuju remaja. Lalu sampai pada fase gejolak kesedihan yang menyisakan duka. Tapi begitu apik pula Allah mengizinkan semua berjalan sesuai porsinya.

Sumber: google.com

Ketika menapaki fase kehilangan, ya! semua tahapan griefing dari KublΓ«r-Ross memang terlalui. Dari mulai aku menyangkal, marah pada lingkungan bahkan pada Dia, hingga akhirnya dengan sekuat tenaga mampu menerima. Sangat wajar bila ada emosi-emosi negatif di dalamnya. Tapi melalui itu pula dititipkan kekuatan dan keikhlasan. Lalu… alhamdulillah semua prosesnya mampu mengantarkan pada satu kesimpulan bahwa ilmu Allah lah satu-satunya yang mengizinkan semua tahapan itu berjalan dalam koridornya.

Pada fase berikutnya, tugas perkembanganku terus berlanjut. Aku memasuki dunia perkuliahan dengan segala dinamikanya. Lulus, bekerja dan menambah pengalaman, kemudian sekolah lagi, lalu menikah. Selesai? TENTUNYA BELUM!!! Justru perjalanan baru yang lebih aduhai lagi baru dimulai 😊 dan… akan ada banyak babak lagi pada tugas perkembanganku selanjutnya…sampai aku menutup mata (yang bisa jadi nanti, atau tidak harus menunggu nanti). Ah, semoga saja nanti kita semua kembali dalam sebaik-baik keadaan πŸ™

Lalu, buat apa menceritakan sepanjang lebar ini?

Hhhmmm, bukan…bukan agar seluruh dunia tau ya gaes. πŸ™‚. Apalagi buat kepentingan eksistensi. Bismillah, tulisan ini murni untuk pengingat bagi diri sendiri. Syukur-syukur ada manfaat yang bisa dibagi. Semoga aja ya… mana tau nanti setelah saya tidak eksis lagi di dunia fana ini, ada sesuatu yang bisa diwarisi anak cucu kami.

Hmmm, memaknai semuanya dengan “ringan” seperti yang terlihat saat ini tentu butuh proses dan waktu yang tidak sebentar. Ada banyak tanjakan, jalan mulus haluspun tentu ada. “Nggak mungkin dong Allah terus-terusan memberi ujian tanpa ada moment kenaikan kelas setelahnya.” Intinya, dalam per-kehidupan kita di dunia yang sementara ini akan ada hal-hal yang membahagiakan, adapula sebaliknya. Ada hal yang berjalan sesuai rencana ada pula yang tidak, bahkan jauh keluar dari rel rencana sebelumnya. Nah, sebagai manusia, Allah memberi kita kelebihan dalam kemampuan berpikir dan menggunakan kapasitas otak kita seoptimal mungkin. Ini pula yang membedakan kita dari makhluk Allah lainnya.

Ada beberapa poin yang bisa kita kantongi πŸ™‚

  • Hidup itu dinamis. Tak melulu tentang yang manis-manis;
  • Setiap manusia akan melewati fase dan tugas perkembangan masing-masing, maka optimalkan sesuai porsinya;
  • Ketika mendapati segala sesuatu sesuai dengan harapan, maka syukur adalah kunci utamanya;
  • Sebaliknya, ketika yang didapati adalah hal berat dan sulit diterima, maka sabar adalah jawabannya. Lalu balutlah dengan sebaik-baik prasangka pada Dia;
  • Allah asuransikan segala skenario kita lengkap sepaket dengan hikmahnya, jadi tunggu saja;
  • SABAR dan SYUKUR πŸ’Œ

The last but not the least,

Kebaikan tidak pernah mati, sekalipun kita sudah pergi

-Feny-

Selamat terus tumbuh ya untuk aku, kamu, dan kita. Semangat berbaik sangka. Selamat menjemput hikmah. Mari saling mendo’akan πŸ’•πŸ’•

Depok (2019)

Segalanya atas Dia

Untukmu yang aku segalakan. Terima kasih sudah ada. Baktiku belum seberapa namun adamu sepenuhnya. Aku terlambat mengeja makna. Tuntutku sini sana.

Untukmu yang aku pinta Ia muliakan. Melalui pinta tak berkesudahan. Syukur tak pernah bisa aku sandingkan, dengan apapun permisalan.

Untukmu yang teramat lihai meramu ikhlas. Izinkan aku berbakti tanpa puas.

Untukmu, Suamiku.

HIKMAH

Seingatku “hikmah” itu judul sinetron Ramadhan jaman ESDE πŸ˜‚. Jelang maghrib aku udah duduk manis depan tipi (abis mandi dibedakin cemong ala anak otw ABG). Lebih semangat nunggu beduk karna perut udah ribut, dibanding menyegerakan pertemuan dengan Dia melalui sujud. Astaghfirullah, semoga nanti ndak nurun ke anak-anakku πŸ€¦β€β™€οΈ. Dipilem itu yang paling membekas adalah adegan mamak-mamak marah-marah (dalam hati dan pikiran sambil gede2in mata dan muter2in kepala, wkwk). Ga ngerti biar apa. Pastinya ada yg teraniaya. Dan hikmahnya adalaaaah, si tokoh teraniaya akhirnya bahagia di akhir cerita, lalu TAMAT lah sinetronnya jelang hari raya πŸ˜‚

Serius, ini bukan tentang filmnya kok. Boleh jadi ini menjadi pengingat bagi pribadi yang sedang berlatih memperluas ruang syukur dan baik sangka pada skenario dan ketetapan Dia. Mungkin ada banyak jiwa juga yang sedang sama-sama tertatih “belajar.”

Sering kita membaca atau mendengar kalimat semacam, “Insyaa Allah ada hikmahnya”. Sekilas agaknya klise. Semua orang aja ngomong kaya gitu, seolah-olah disuruh berhenti mikir, berhenti ngeluh, berhentilah pokoknya semua hal-hal negatif yg berseliweran di hati maupun dalam kepala. Kemudian “tunggu saja hikmahnya“. Kadang, saat kita ada di fase runyam, kecewa, sedih, lelah hati, atau apapun lah namanya, kita kesal tiba-tiba disuruh menunggu hikmah. Tapi, setelah itu gak jarang juga otaknya muter balik dan bilang ke diri “oh iya ya, bisa jadi ada hikmahnya ntar”.

Demikian agaknya dinamika dalam arena hidup yang sementara ini. Misal__ ada orang yang terlahir dari keluarga ‘seadanya’, tapi mereka saling membersamai dalam balutan cinta karena-Nya. Sungguh indah. Sebaliknya ada orang yg terlahir dari keluarga ‘serba ada’, tapi sulit menemukan kehangatan di dalam cerita cinta mereka. Ada pula orang yang mulus-mulus saja pendidikannya, namun harus menunggu jeda untuk dapat berkecimpung di dunia kerja. Sebaliknya, ada yang harus tertatih dalam pendidikannya, tapi langsung nyemplung di dunia kerja ndak pake nunggu lama.

Misal-misal lainnya,

Ada orang yang sudah menikah di usia muda (definisi muda relatif pastinya, bijaki saja ya), tapi kata Allah harus bersabar dulu menanti buah hati sesuai zona waktu-Nya. Sebaliknya, ada yang harus menunggu ‘lama’ untuk menikah, namun Qadarullah diamanahi buah hati tak lama setelahnya.

Lainnya, let say ada orang yang dari kecil sudah menjadi yatim/piatu, atau bahkan yatim piatu. Mungkin saja akan terlintas “kenapa musti begini amat ya?” “kenapa sih Tuhan tega”? “kenapa harus saya”?

Mungkin akan ada rentetan kenapa-kenapa lainnya. Terima ataupun menunda untuk menerima, pada akhirnya akan ada masa “ohhhhh…..masyaaAllah, ternyata ini ya hikmah dibaliknya”. Bahkan tak hentinya terpukau dengan skenario-Nya.

Boleh jadi, kenapa-kenapa yang tadinya meronta, ternyata menjadi tameng untuk penguat bagi diri ataupun raga. Tak jarang justru memperkuat asa. Menjadi lebih kuat dari seharusnya. MasyaaAllah, ini menjadi indah bukan? mengantarkan pada hikmah.

To be continued…

“Perpisahan”

Kenapa sih harus ada perpisahan? Karna ada “temu” sebelumnya

Lalu, kenapa harus bertemu? Karna Allah yang mau

Lantas haruskah berpisah setelahnya? Sejatinya, keabadian hanya kepunyaan-Nya, bukan kita

Tapi ini sungguh tidak mengenakkan. Iya, memang begitu, lebih lagi bila sudah memupuk rindu

Tapi…….. -_- Oke, coba istighfar, ingat kembali betapa baiknya Dia sudah menakdirkan “temu”. Bukankah itu juga doamu?

Hhhhmmm iya sih, tapi belum siap. Masih gamang. Masih belum setegar itu. Harusnya begini…. harusnya begitu….

Wajar kok merasa gamang, wajar sekali. Sekarang, coba renungkan lagi, ini hanya soal jarak dan waktu. InsyaaAllah akan ada lagi temu-temu yang kian indah. Maukah kau bersabar? Maukah mengeja syukur? Percayalah, ada banyak jiwa yg juga rindu temu, namun tidak lagi mampu menemui raga, hanya doa.

Astaghfirullah :” Iya… aku lupa. Ini hanya soal jarak dan waktu yang berjeda. Bahkan hikmah ‘bertemu di ruang rindu’ pun sudah terasa. Syukurku saja yang suka alfa -_-

πŸ™‚πŸ™‚πŸ™‚

Lebih kurang begitu pergolakan si aku dan si aku di kepalaku. Hahaha. Masih ada banyak hal yang harus kita (aku terutama) genapi. Terimakasih sudah meridhoi. Semoga ikhlas yang sudah kau jaga hingga ranum, kelak menemui kesyukuran tak berjeda.

Sebentar lagi saja πŸ™‚

Terima kasih, Kamu.

Hadirnya karena-Nya

He’s the one

Surely, Allah never fails in His

promise (Qur’an 3:9)


Allahu akbar :”

Syukur tak pernah menjeda. Memintal rasa karena-Nya. Penyempurna setengah agama, atas izin Dia. Semoga bermuara surga.

Sebaik-baik cara menjaga kehormatan rasa sebelum berbuka. Layaknya matahari mencinta bumi, mendekap tanpa mendekati (dulu sebelum doa berbuka di-aamiini).

Balutan ikhlas tiada lepas. Mendapati cinta(ku) karena-Nya lebih dari pantas. Semogakan sabar berkelas. Ujian (jeda) ini hanya sepintas. Pada waktunya segera tuntas.

“Terima kasih, Dia hadirkan dia”.

Tentang Ikhlas

Bahasan ini agaknya bila dijabarkan tak luput dari kesan klise πŸ™‚

Saat diurai berdasar retorika, bisa jadi tampak sebatas teori. Alih-alih dideskripsi berdasar pendapat para ahli. Bukan bukan, ini bukan itu. Ini adalah ini. Semoga bisa dimengerti πŸ™‚

Mungkin boleh ditjoba mengurainya dengan hati, atau dengan rasa. Boleh dipikir-pikir dulu, mau lanjut baca atau enggak. Tapi sih tetap disemogakan “apa-apa yang dari hati akan sampai ke hati” πŸ™‚

Ada yang bilang ikhlas itu…ketika semua yang dilakukan tanpa pamrih. Ya lakuin aja gitu, gak ngarep apa-apa.

“Ikhlas itu ndak mengharap balas”, ada juga yang nyebutin gitu. Miriplah ya sama yang disebutin di atas.

“Ketika kita berniat, berpikir, dan bertindak bukan karena ada apa-apanya”, juga bisa dibilang ikhlas.

Atau justru ikhlas itu ya benar-benar ndak pernah disebut-sebut dalam proses kerjanya.

Banyaaak, banyak sekali kalau menguliti soal definisi. Kita ndak usah dalam-dalam lah ya. Sikit-sikit aja. Tapi dari hati. #apasih

Kataku, mungkin ikhlas itu berat. Itulah kenapa dibalut semanis-manis hikmah setelahnya. Ya kita ndak pernah tau wujud hikmahnya akan seperti apa.

Semoga kata berat yang kusebut tadi konotasinya di kepala tetap positif ya. Boleh jadi, ini mengarah pada kebaikan yang pelan-pelan dapat disandingkan dengan hikmah ibadah. Semakin berat ujian dalam ibadah, semakin besar pula ganjaran pahala (mohon koreksi bila mengelirui esensi, ya)

Hmmm boleh jadi pula, di dalam, di samping, atas bawah depan belakang, pokoknya di sekitaran si ikhlas tadi ada kelapangan. Diiringi ketenangan, kelegaan, keringanan, dan kebaikan-kebaikan lainnya.

MasyaaAllah. Bisa kita bayangin ga sih kalau semua makhluk (terutama manusia) di bumi ini berbondong-bondong agar bisa punya hak milik terhadap si ikhlas tadi. ADEM.

Tapi kembali ke berat. Berat, ndak semua juga semudah itu. Barusan kan ngomong aja. Nah, barusan itu seta*😈 bisik-bisik tu. Haha.

Hal-hal semacam ini yang kadang menyeret kita memutar otak buat merasionalisasi, “ah, namanya juga manusia, wajarlah!”

Eitssss, tapi nggak sepenuhnya nggak bener juga rasionalisasi semacam itu. Karena manusia pun butuh asupan seimbang untuk jiwa, untuk raga.

Sayang juga kalau energinya habis buat memaksakan ikhlas. Lah…gimana gimana?! Dalam si ikhlas kan gak ada paksaan. Lantas apa dong yang dipaksa? Atau siapa yang memaksa…

Kayaknya kita coba cari jalan tengah.

Supaya bener-bener bisa di tengah, kayaknya kita harus tarik garis lurus ke tujuan. Tujuan apapun. Ke mana arahnya? Apa tujuan akhirnya?

Mungkin…ini bisa sedikit menggandeng kita, mengokohkan langkah, ke arah tujuan tadi.

Percayalah, kalo ada yg digandeng itu lebih kokoh 🀭 Canda. Sendiri juga bisa kokoh, cuman butuh usaha lebih besar aja. Yg bener itu kalo selalu digandeng Dia, baru dah kokoh to the max. Hahaha

Misal: (izin ya pake contoh pernikahan aja, masi anget soalnya)

Tujuan utama kita menikah itu apa sih? (Jawabannya pasti akan sangat beragam). Anggap kita ambil satu jawaban tanpa sumber, yaitu: “menikah buat beribadah karena mengharap Jannah Allah”. MasyaaAllah mulia sekali, Nak πŸ˜‚. Buat siapapun yg punya tujuan serupa, atau mirip-mirip dikit, mari kita aamiin-kan. Semoga semestapun turut serta.

Nah….kira-kira, kalau tujuan utamanya persis seperti yang disebutkan di atas, masih berani buat gak ikhlas gak ya kita? Hmmm, jadi mikir sendiri. Wkwk. (Bukan proyeksi kok, suwer ✌)

Dah, segitu aja perumpamaannya. Permisalan lain boleh dieksplor sepuasnya dalam konteks yang lebih kaya.

Semoga Si Ikhlas tadi ndak terlupakan πŸ™‚

Selamat sama-sama mengikhtiarkan πŸ™‚

source: google.com